Jazz adalah musik kelas atas, tertinggi dari seluruh genre
musik yang ada, merupakan pernyataan yang harus disikapi secara dewasa. Jazz
memang merupakan `penampakan` dari melting pot. melting pot adalah sebuah
istilah ketika meleburnya seluruh ras, genre, tradisi, budaya, keyakinan dan
apapun yang ada di demografis, sosiologis dan antropologis bumi ini. Hal ini
terjadi di negeri Paman Sam sana yang menjadi cikal bakal musik modern.
Apa yang terjadi di negeri ini adalah hal yang melantur atau
praktik-praktik yang mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap suatu hal yang
terkesan `impor`. Jazz menjadi musik kalangan atas yang dimainkan oleh musisi `ngartis`,
lulusan berklee atau lulusan sekolah musik yang mengkhususkan diri sebagai
sekolah jazz, bertarif internasional dan bermetode musik klasik eropa (padahal
jazz dari Amerika). Jazz memang masuk ke Nusantara melalui bangsa eropa melalui
penjajahan dan pengerukannya terhadap sumber daya alam negeri ini. namun
apabila kita mau merendahkan hati untuk menyadari asal-usul atau akar jazz,
kita pasti akan sangat merasa malu. Ya, tentu saja malu, selama puluhan tahun
ini kita menganggap musik jazz yang kita mainkan adalah musik kelas atas,
eksklusif dan mensegmenkan diri berbeda dari orang lain. Musik yang lahir dari melting
pot ini awalnya adalah musik blues yang dimainkan atas ekspresi kesedihan dari
kehidupan para budak.
Kita yang mengaku musisi jazz ini melupakan hal yang sangat penting
yaitu root atau akar dari musik modern itu sendiri. musik yang terlalu mengandalkan
teknik, instrument berharga milyaran dan tidak mempedulikan masalah atau hal RASA.
Memainkan jazz tidak lepas dari blues, blues itu masalah rasa, rasa dari kesedihan
yang dijalani dalam kehidupan, bukan kehidupan mewah seperti bintang pop yang
sebentar saja meredup lalu jatuh stress.
Rendahkanlah hati, sadarilah bahwa jazz itu tidak selalu
AMERIKA atau IMPOR, tetapi jazz adalah kita, musik Nusantara yang beragam akan
etnis dan budaya, tidak ada lagi pemisahan antara jazz impor dan jazz etnis (padahal
pemainnya sama-sama lokal). Jadikan jazz adalah `KITA` dengan memperbaiki
kehidupan kita supaya `JAZZ` bukan bule-bulean, luar negeri-luar negerian
seperti zaman orba. Jangan ada lagi festival-festival seperti Jazz Java yang gamelan
Jawa nya tidak ada, Jazz Bromo begitu juga, Jazz Bandung musiknya tidak Mbandungi.
Ada yang memulai jazz etnik Nusantara, tapi tidak ada organizer mau mengeluarkan
budget karena dinilai kampungan atau hanya cari sensasi popularitas, sangat
memprihatinkannnnn.
Semoga tulisan ini membuat kita tersadar untuk melakukan hal
yang lebih mengakar daripada sekedar artis-artisan, popularitas, impor-imporan
dan mahal-mahalan. kerendahan hati jauh lebih penting diutamakan daripada
penampilan. Salam Superrrrrr!!!!! ;)
Kereen tulisannya, sukses terus kang
BalasHapus